Senin, 03 Mei 2021

PLURALITAS DAN KONSEP PENGAKUAN INTERSUBJEKTIF DALAM PEMIKIRAN AXEL HONNETH

 

Nama             : Sartika

NPM             : 19144600091

Kelas             : A3-19

Link Jurnal    : https://driyarkara.ac.id/jurnal-diskursus/index.php/diskursus/article/view/70


PLURALITAS DAN KONSEP PENGAKUAN INTERSUBJEKTIF

DALAM PEMIKIRAN AXEL HONNETH

Axel Honneth adalah penerus tradhisi teori kritis generasi ketiga dari Madzhab Frankfurt. Plural adalah sebuah kata yang menunjukkan bahwa jumlah sesuatu baik hewan atau manusia lebih dari satu, atau sering disebut jamak. Pluralitas merupakan ciri khas yang mewarnai kehidupan bersama setiap masyarakat modern. Hal ini terungkap dalam kebhinekaan pandangan, nilai, ideologi dan tradhisi kultural. Kebhinekaan ini tidak hanya  mewarnai ruang publik, tapi juga menyusup hingga ke ranah privat. Kelompok-kelompok ini hidup berdampingan dan setara. Tak ada yang dipandang lebih penting dari yang lain. Dalam paradigma intersubjektif, pengakuan tidak hanya dilihat pada tataran relasi interkultural, tapi dipahami sebagai sebuah antropologi. Hal ini ditunjukkan Honneth dalam uraiannya tentang berbagai tingkatan interaksi antar manusia yakni tataran cinta, hukum, dan solidaritas.

Pertanyaan fundamental yang harus dijawab oleh setiap masyarakat plural ialah seberapa plural kondisi sosial yang dapat ditoleransi sebuah masyarakat agar masyarakat tersebut tetap bertahan hidup. Apakah sebuah masyarakat plural tetap membutuhkan basis normatif kolektif? Pertanyaan ini muncul seiring dengan krisis yang melanda demokrasi modern yang dipandang sudah terlalu liberal. Untuk menjawabi krisis tersebut pluralitas nilai, ideologi dan tradisi dalam demokrasi harus dijangkarkan kembali pada nilai budaya kolektif. Uraian tentang konsep pengakuan Honneth akan didahului dengan sebuah gambaran umum tentang konsep pengakuan dan multikulturalis- me. Gambaran umum ini penting guna menghantar pembaca pada uraian lebih rinci tentang konsep pengakuan intersubjektif Axel Honneth. Dibandingkan dengan model-model pengakuan lainnya seperti konsep pengakuan interkultural, pandangan Axel Honneth lebih tajam karena menggambarkan pengakuan sebagai basis antropologis pembentukan subjek. Tak ada subjek tanpa proses pengakuan, demikian pandangan Honneth. Formasi subjek lewat proses pengakuan, demikian Honneth, terjadi pada tiga tingkatan yakni pada ranah cinta, hukum dan solida- ritas. Cinta adalah ungkapan relasi intim antarmanusia dan lewat cinta individu dibantu untuk mengembangkan rasa percaya diri. Hukum membantu individu untuk mengembangkan sikap respek terhadap dirinya sendiri, sedangkan solidaritas membentuk sikap penghargaan terhadap diri sebagai bagian dari sebuah komunitas nilai kolektif. Pada bagian terakhir akan diajukan sejumlah catatan kritis atas konsep penga- kuan Honneth yang dirumuskan di bawah judul kognitivisme, autentisitas dan teleologi.

          Menurut saya dengan menggunakan teori dari Axel honest akan terbukanya kemungkinan masyarakat semasa menemukan jalan dialog bagi kebertemuan yang secara legal-normatif menjamin hidup bersama secara damai. Konsep pengakuan intersubjektif Axel Honneth, pada bagian terdahulu kita telah melihat bahwa teori pengakuan pada umumnya lahir sebagai catatan kritis atas kegagalan praktik politik liberal. Liberalisme dianggap mengenal individu hanya sebagai subjek hukum dan karena itu hanya dapat memperhatikan tuntutan validitas hukum. Dalam kaca mata liberalisme, kesetaraan subjek-subjek hukum hanya dapat dijamin jika aspek-aspek tradisi, kultural dan konsep hidup baik dijauhkan dari politik. Namun apa yang menjadi objek pengakuan justru aspek-aspek ini, hal-hal yang menempatkan individu dalam konteks nilai bersama yang dimaknai secara kolektif. Charles Taylor ber- pandangan bahwa model liberalisme yang sensibel terhadap diferensiasi harus mengkompensasi pemiskinan individualistis (individualistische Verarmung) tersebut dan memperluas horison liberalisme dengan mem- berikan perhatian khusus pada hak-hak kultural (kolektif). Teori Ricoeur juga menunjukkan bahwa Honneth membantu untuk menemukan dalam pemikiran Hegel ada tiga unsure mendasar yang terkandung dalam pengakuan. Pertama, pengakuan berhubungan erat dengan refleksi diri dan keterarahan kepada orang lain. Kedua, proses dinamisme pengakuan itu selalu bergerak dari kutub negative menuju kutub positif, dari ketidak pedulian menuju perhatian, dari ketidak adilan menuju respek. Ketiga, teori pengakuannya bergerak meningkat secara sistematis berdasarkan hierarki, yang dihubungkan dengan institusi dalam masyarakat, dari yang terkecil dalam keluarga menuju tingkat tertinggi pada Negara. Tiga wilayah pengakuan dari Honnest yaitu wilayah subjektif mengenai cinta, menurut Honnest cinta merupakan medium utama bagi adanya pengakuan yang dialami subjek dalam masyarakat sekaligus menjadi dasar bagi terbangunnya sikap percaya diri subjek sosial. Kemudian wilayah objektif mengenai hukum dan wilayah sosial mengenai solidaritas, dalam konsepnya Honnest menyebutnya bukan solidaritas namun sittlichkeit yang mengandaikan bahwa struktur sosial sebagai tatanan normative yang merealisasikan kebebasan tiap individu sudah terkandung didalamnya.

         Pengakuan sebagai sebuah gramatika sosial adalah jalan dengan rambu-rambunya, yakni cinta, hak, dan solidaritas. Rambu-rambu ini menyediakan perlindungan intersubjektif, sebagai kondisi yang aman bagi kebebasan eksternal dan internal dalam proses artikulasi dan realisasi tujuan hidup individu, tanpa tindakan koersif dari pihak luar. Untuk hal yang harus dilakukan lebih lanjut lebih memperhatikan kembali sikap, perilaku, dan tindak tanduk ketika sedang berada dikehidupan masyarakat sosial.

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar