Nama : Sartika
NPM : 19144600091
Kelas : A3-19
Link Jurnal : https://driyarkara.ac.id/jurnal-diskursus/index.php/diskursus/article/view/70
PLURALITAS
DAN KONSEP PENGAKUAN INTERSUBJEKTIF
DALAM
PEMIKIRAN AXEL HONNETH
Axel
Honneth adalah penerus tradhisi teori kritis generasi ketiga dari Madzhab
Frankfurt. Plural adalah sebuah kata yang menunjukkan bahwa jumlah sesuatu baik
hewan atau manusia lebih dari satu, atau sering disebut jamak. Pluralitas
merupakan ciri khas yang mewarnai kehidupan bersama setiap masyarakat modern. Hal ini terungkap dalam kebhinekaan
pandangan, nilai, ideologi
dan tradhisi kultural. Kebhinekaan ini tidak hanya mewarnai ruang publik, tapi juga
menyusup hingga ke ranah privat. Kelompok-kelompok
ini hidup berdampingan dan setara. Tak ada yang dipandang lebih penting
dari yang lain. Dalam paradigma intersubjektif, pengakuan
tidak hanya dilihat pada tataran relasi interkultural, tapi dipahami sebagai
sebuah antropologi. Hal ini ditunjukkan Honneth dalam uraiannya tentang
berbagai tingkatan interaksi antar manusia yakni tataran cinta, hukum, dan
solidaritas.
Pertanyaan fundamental yang harus dijawab
oleh setiap masyarakat plural ialah seberapa plural kondisi sosial yang dapat
ditoleransi sebuah masyarakat agar masyarakat tersebut
tetap bertahan hidup. Apakah sebuah masyarakat plural tetap membutuhkan
basis normatif kolektif? Pertanyaan
ini muncul seiring dengan krisis yang melanda demokrasi modern yang dipandang sudah terlalu liberal. Untuk menjawabi
krisis tersebut pluralitas nilai, ideologi dan tradisi dalam demokrasi harus dijangkarkan kembali
pada nilai budaya
kolektif. Uraian tentang konsep pengakuan Honneth akan didahului dengan sebuah
gambaran umum tentang
konsep pengakuan dan multikulturalis- me. Gambaran umum ini penting
guna menghantar pembaca
pada uraian lebih rinci tentang
konsep pengakuan intersubjektif Axel Honneth. Dibandingkan dengan model-model
pengakuan lainnya seperti konsep pengakuan
interkultural, pandangan Axel Honneth lebih tajam karena menggambarkan pengakuan
sebagai basis antropologis
pembentukan subjek. Tak ada subjek
tanpa proses pengakuan, demikian pandangan Honneth.
Formasi subjek lewat proses pengakuan, demikian Honneth, terjadi pada tiga tingkatan yakni pada ranah cinta, hukum dan
solida- ritas. Cinta adalah ungkapan
relasi intim antarmanusia dan lewat cinta individu dibantu
untuk mengembangkan rasa percaya diri. Hukum membantu
individu untuk mengembangkan sikap respek terhadap
dirinya sendiri, sedangkan solidaritas membentuk sikap penghargaan terhadap diri sebagai bagian dari sebuah
komunitas nilai kolektif. Pada bagian
terakhir akan diajukan sejumlah catatan kritis atas konsep penga- kuan Honneth yang dirumuskan di bawah judul kognitivisme, autentisitas dan teleologi.
Menurut saya dengan menggunakan teori dari Axel honest akan terbukanya kemungkinan masyarakat semasa menemukan jalan dialog bagi kebertemuan yang secara legal-normatif menjamin hidup bersama secara damai. Konsep pengakuan intersubjektif Axel Honneth, pada bagian terdahulu kita telah melihat bahwa teori pengakuan pada umumnya lahir sebagai catatan kritis atas kegagalan praktik politik liberal. Liberalisme dianggap mengenal individu hanya sebagai subjek hukum dan karena itu hanya dapat memperhatikan tuntutan validitas hukum. Dalam kaca mata liberalisme, kesetaraan subjek-subjek hukum hanya dapat dijamin jika aspek-aspek tradisi, kultural dan konsep hidup baik dijauhkan dari politik. Namun apa yang menjadi objek pengakuan justru aspek-aspek ini, hal-hal yang menempatkan individu dalam konteks nilai bersama yang dimaknai secara kolektif. Charles Taylor ber- pandangan bahwa model liberalisme yang sensibel terhadap diferensiasi harus mengkompensasi pemiskinan individualistis (individualistische Verarmung) tersebut dan memperluas horison liberalisme dengan mem- berikan perhatian khusus pada hak-hak kultural (kolektif). Teori Ricoeur juga menunjukkan bahwa Honneth membantu untuk menemukan dalam pemikiran Hegel ada tiga unsure mendasar yang terkandung dalam pengakuan. Pertama, pengakuan berhubungan erat dengan refleksi diri dan keterarahan kepada orang lain. Kedua, proses dinamisme pengakuan itu selalu bergerak dari kutub negative menuju kutub positif, dari ketidak pedulian menuju perhatian, dari ketidak adilan menuju respek. Ketiga, teori pengakuannya bergerak meningkat secara sistematis berdasarkan hierarki, yang dihubungkan dengan institusi dalam masyarakat, dari yang terkecil dalam keluarga menuju tingkat tertinggi pada Negara. Tiga wilayah pengakuan dari Honnest yaitu wilayah subjektif mengenai cinta, menurut Honnest cinta merupakan medium utama bagi adanya pengakuan yang dialami subjek dalam masyarakat sekaligus menjadi dasar bagi terbangunnya sikap percaya diri subjek sosial. Kemudian wilayah objektif mengenai hukum dan wilayah sosial mengenai solidaritas, dalam konsepnya Honnest menyebutnya bukan solidaritas namun sittlichkeit yang mengandaikan bahwa struktur sosial sebagai tatanan normative yang merealisasikan kebebasan tiap individu sudah terkandung didalamnya.
Pengakuan sebagai sebuah gramatika sosial adalah jalan dengan rambu-rambunya, yakni cinta, hak, dan solidaritas. Rambu-rambu ini menyediakan perlindungan intersubjektif, sebagai kondisi yang aman bagi kebebasan eksternal dan internal dalam proses artikulasi dan realisasi tujuan hidup individu, tanpa tindakan koersif dari pihak luar. Untuk hal yang harus dilakukan lebih lanjut lebih memperhatikan kembali sikap, perilaku, dan tindak tanduk ketika sedang berada dikehidupan masyarakat sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar