Kelompok 1
Okta Prastu Dinda Sari (19144600084)
Sartika (19144600091)
Vivi Lupitasari (19144600104)
Hasyim Munawar (19144600105)
Moh. Ilham Febriyanto (19144600106)
Riza Apriawan (20144600204)
Muhammad Farhan Alif N (20144600225)
Kelas : PGSD A3-19
BUKU PAULO FREIRE
PENDIDIKAN KAUM TERTINDAS
Humanisasi secara aksiologis, selama ini selalu dipandang sebagai masalah utama manusia, maka sekarang memiliki watak sebagai suatu keprihatinan yang tidak dapat dihindarkan. Keprihatinan terhadap masalah humanisasi ini akan segera membawa kita pada pengakuan akan adanya masalah dehumanisasi, bukan saja sebagai sebuah kemungkinan ontologis, tetapi juga sebagai sebuahsejarah realitas. Ketika orang menyedari makin meluasnya gejala dehumanisasi itu, dia akan menanyakan diri sendiri apakah humanisasi masih merupakan sebuah kemungkinan yang dapat dipertahankan. Dalam sejarah, dalam konteks yang konkret dan obyektif, baik masalah humanisasi maupun dehumanisasi keduanya merupakan kemungkinan yang selalu tersedia bagi seseorang sebagai makhluk belum selesai yang menyadari ketidak sempurnaannya.
Dehumanisasi, yang menandai bukan saja mereka yang telah dirampas kemanusiaannya, akan tetapi mereka yang telah merampasnya. Adalah sebuah penyimpangan fitrah untuk menjadi manusia sejati. Penyimpangan ini terjadi sepanjang sejarah, namun bukan suatu fitrah. Sesungguhnya, mengakui duhumanisasi sebagai suatu fitrah sejarah akan membawa kepada suatu sinisme atau sikap putus asa menyeluruh.
Oleh karena hal ini merupakan sebuah penyimpangan dari usaha untuk menjadi lebih manusiawi, maka cepat atau lambat keadaan yang kurang manusiawi itu akan mendorong kaum tertindas untuk berjuang untuk menentang mereka yang telah membuat mereka jadi demikian. Agar perjuangan itu bermakna, maka dalam berusaha membuat kembali kemanusian mereka (sebagai salah satu cara untuk mewujudkannya), kaum tertindas tidak boleh berbalik menjadi penindas kaum tertindas, tetapi memulihkan kembali kemanusiaan keduanya.
Pendidikan kaum tertindas, sebagai pendidikan para humanis dan pembebas, terdiri dari dua tahap. Pada tahap pertama, kaum tertindas membuka tabir dunia penindasan dan melalui praksis melibatkan diri untuk mengadakan perubahan. Pada tahap kedua, dimana realitas penindasan itu sudah berubah, pendidikan ini tidak lagi menjadi milik kaum tertindas tetapi menjadi pendidikan untuk seluruh manusia dalam proses mencapai kebebasan yang langgeng.
Dalam kedua tahap ini dibutuhkan gerakan yang mendasar agar kultur dominasi dapat dilawan secara kultur pula. Pada tahap pertama, maka perlawanan itu terjadi dalam hal kaum tertindas menyadari akan adanya dunia penindasan dan pada tapah kedua, dengan membrantas habis mitos-mitos yang diciptakan dan dikembangkan di masa orde lama, yang bagaikan hantu-hantu yang menghantui bangunan baru yang muncul dari perubahan revolusioner.
Pendidikan kaum tertindas sejatinya adalah yang dijiwai oleh kedermawanan sejati, kemurahan hati humanis (bukan humanitarian) menampilkan diri sebagai sebuah pendidikan bagi seluruh umat manusia. pendidikan yang dimulai dengan kepentingan egoistis kaum penindas (egoisme dengan baju kedermawanan palsu dari paternalisme) dan menjadikan kaum tertindas sebagai objek dari humanitarianisme mereka, justru mempertahankan dan menjelmakan penindas itu sendiri. Dia merupakan sebuah perangkat dehumanisasi. Pendidikan kaum tertindas tidak dapat dikembangkan dan dilaksanakan oleh kaum penindas. Akan tetapi merupakan suatu kontradiksi jika kaum penindas tidak hanya membela tetapi juga melaksanakan pendidikan yang membebaskan.
Menurut saya pendidikan kaum tertindas ini, yang dijiwai oleh kedermawanan sejati, kemurahan hati humanis (bukan humanitarian) menampilkan diri sebagai sebuah pendidikan bagi seluruh umat manusia. Pendidikan yang dimulai dengan kepentingan egoistis kaum penindas (egoisme dengan baju kedermawanan palsu dari paternalisme) dan menjadikan kaum tertindas sebagai obyek dari humanitarianisme mereka, justru mempertahankan dan menjelmakan penindasan itu sendiri. Pendidikan kaum tertindas merupakan sebuah perangkat dehumanisasi. Itu pula sebabnya mengapa telah di tegaskan sejak awal pendidikan kaum tertindas tidak dapat dikembangkan dan dilaksanakan oleh kaum penindas.
Pendidikan kaum tertindas harus dihilangkan dan menciptakan bersama pendidikan yang bukan untuk menindas melainkan membangun oendidikan yang demokratis dalam hal ini dimaksusdkan untuk perjuangan memulihkan kembali kemanusiaan yang telah dirampas. Pendidikan kaum tertindas harus merupakan perjuangan melawan penindasan dalam situasi dimana dunia dan manusia berada dalam interaksi. Oleh karena itu dalam perjuangan ini diperlukan praksis yang merupakan sebuah proses interaksi antara refleksi dan aksi salah satu faktor penting dalam gerakan pembebasan tersebut adalah perkembangan kesadaran.
Kami setuju dengan pendidikan bagi kaum tertindas yang digags oleh Paulo Freire yang ditulis dalam bukunya yaitu Pendidikan kaum tertindas. Dari gagasan yang disampaikan, dapat dikatan pendidikan bagi kaum tertindas perlu dilakukan. Sebenarnya tidak hanya bagi orang teritndas, tetapi bagi setiap manusia karena dengan pendidikan akan memeperoleh ilmu, pengetahuan dan keterampilan yang dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Pendidikan termasuk HAM sehingga semua manusia bebas menempuh Pendidikan.
Pendidikan bagi kaum tertindas yang digagas oleh Paulo Friere menekankan tidak adanya dehumanisasi dan tetap harus memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia disini yaitu bagi para penindas agar dapat menjadi manusia yang sejati. Pendidikan bagi kaum tertindas bertujuan untuk membebaskan diri dari para penindas. Bukan sebagai ajang balas dendam bagi penindas Ketika mereka merasakan kebebasan. Sehingga humanisasi ini perlu dilakukan dan dipertahankan karena akan sama saja jika mereka yang dulunya tertindas akan menjadi penindas sebagai ajang balas dendam.
Bagi Freire, penindasan, apa pun nama dan alasannya, adalah tidak manusiawi, sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan . Dehumanisasi bersifat ganda, dalam pengertian, terjadi atas diri mayoritas kaum tertindas dan juga atas diri minoritas kaum penindas. Keduanya menyalahi kodrat manusia sejati. Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan, karena mereka dibuat tak berdaya dan dibenamkan dalam «kebudayaan bisu» 1 Adapun minoritas kaum penindas menjadi tidak manusiawi karena telah mendustai hakekat keberadaan dan hati nurani sendiri dengan memaksakan penindasan bagi sesamanya. Pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat objektif atau subyektif, tapi harus kedua-duanya. Kebutuhan obyektif untuk merubah keadaan yang tidak manusiawi selalu memerlukan kemampuan subyektif untuk mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusiawi, yang terjadi senyatanya, yang obyektif. Sistem pendidikan pembaharu ini, kata Freire, adalah pendidikan untuk pembebasan—bukan untuk penguasaan (dominasi). Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya (social and cultural domestication). Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia dan, karena itu, secara metodologis bertumpu di atas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total—yakni prinsip bertindak untuk menabah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar