Kelompok 1:
Okta Prastu Dinda Sari (19144600084)
Sartika (19144600091)
Vivi Lupitasari (19144600104)
Hasyim Munawar (19144600105)
Moh. Ilham Febriyanto (19144600106)
Riza Apriawan (20144600204)
Muhammad Farhan Alif N (20144600225)
Kelas : PGSD A3-19
Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan
KI HAJAR DEWANTARA ( PENDIDIKAN NASIONAL)
Tokoh yang memiliki sumbangsih besar untuk kemajuan pendidikan di Indonesia dan mendapat gelar sebagai Bapak Pendidikan Nasional yaitu Ki Hajar Dewantara, Ia adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, dan pelopor pendidikan bagi bangsa Indonesia. Sepanjang perjalanan hidupnya sarat dengan perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsa. Tak heran jika peran dan jasanya begitu besar dalam mengawal impian bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang merdeka dari segala macam bentuk penjajahan. Untuk mengawal impian tersebut, ia menggunakan media pendidikan, baginya pendidikan bukanlah tujuan, melainkan media untuk mencapai tujuan perjuangan yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batin. Merdeka lahiriah berarti tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik dan lain-lain, sedangkan merdeka batiniah berarti mampu mengendalikan diri dan mandiri dangan tanpa melanggar kemerdekaan orang atau golongan lain. Hakikat pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah memasukkan kebudayaan ke dalam diri anak dan memasukkan anak ke dalam kebudayaan supaya anak menjadi makhluk yang insani.
Globalisasi yang dipengaruhi oleh kepentingan pasar menyebabkan pendidikan tidak sepenuhnya dipandang sebagai upaya mencerdaskan bangsa dan proses pemerdekaan manusia tetapi mulai bergeser menuju pendidikan sebagai komoditas (Saksono, 2010: 76). Pengaruh globalisasi yang sedang dan akan berlangsung akan berpengaruh terus-menerus sampai waktu yang tidak ditentukan dan ini semakin sulit untuk diatasi. Melihat kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada masa-masa yang akan datang, rasanya sangat berat sehingga bangsa Indonesia harus secara serius menangani masalah ini. Globalisasi telah mengakibatkan pergeseran tujuan pendidikan nasional dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi yang tidak lagi hanya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi lebih berfokus untuk menghasilkan lulusan yang menguasai scientia. Dengan penguasaan scientia dinilai mengarahkan peserta didik kepada hasil yang bersifat pragmatis dan materialis, karena kurang membekali peserta didiknya dengan semangat kebangsaan, semangat keadilan sosial, serta sifat-sifat kemanusiaan dan moral luhur sebagai warga negara (Saksono, 2010: 76). Bangsa Indonesia saat ini dihadapkan pada krisis karakter yang cukup memprihatinkan. Demoralisasi mulai merambah di dunia pendidikan seperti ketidakjujuran, ketidakmampuan mengendalikan diri, kurangnya tanggung jawab sosial, hilangnya sikap ramah-tamah dan sopan santun. Untuk menangkal model pendidikan semacam itu maka konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ditawarkan sebagai solusi terhadap distorsi-distorsi pelaksanaan pendidikan di Indonesia dewasa ini. Ki Hadjar Dewantara mengatakan hendaknya usaha kemajuan ditempuh melalui petunjuk trikon, yaitu kontinyu dengan alam masyarakat Indonesia sendiri, konvergen dengan alam luar, dan akhirnya bersatu dengan alam universal, dalam persatuan yang konsentris yaitu bersatu namun tetap mempunyai kepribadian sendiri (Dewantara, 1994: 371).
Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan merupakan salah satu usaha pokok untuk memberikan nilai-nilai kebatinan yang ada dalam hidup rakyat yang berkebudayaan kepada tiap-tiap turunan baru (penyerahan kultur), tidak hanya berupa pemeliharaan akan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan, menuju ke arah keseluruhan hidup kemanusiaan (Dewantara, 2011: 344). Kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan bangsa sendiri mulai dari Taman Indria, anak-anak diajarkan membuat pekerjaan tangan, misalnya: topi (makuto), wayang, bungkus ketupat, atau barang-barang hiasan dengan bahan dari rumput atau lidi, bunga dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar anak jangan sampai hidup terpisah dengan masyarakatnya (Dewantara, 2011: 276). Metode permainan yang masih terdapat di desa-desa dimaksudkan untuk melatih ketangkasan, melihat, mendengar dan bertindak sebagai latihan panca indera. Banyak permainan anak-anak yang berupa tarian, sandiwara-sandiwara yang amat sederhana, tetapi cukup Henricus Suparlan 65 mengandung bahan-bahan untuk pendidikan, misalnya seni suara, tari dan drama. Drama dari cerita-cerita rakyat seperti Timun Emas, Bawang Putih, Jaka Kendil maupun cerita-cerita Wayang Purwa. Untuk anak-anak yang sudah besar, misalnya Taman Dewasa atau Sekolah Menengah Pertama dan Taman Madya atau Sekolah Menengah Atas, akan diberikan pelajaran olah gending. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperkuat dan memperdalam rasa kebangsaan. Tari Serimpi dan tari Bedoyo diberikan kepada anak didik karena merupakan kesenian yang amat indah yang mengandung rasa kebatinan, rasa kesucian dan rasa keindahan. Gending-gending Keraton jaman dulu diwajibkan untuk dipelajari, juga Tari Serimpi. Di samping Tari Serimpi juga diajarkan sandiwara atau drama yang dalam istilah Jawa disebut tonil, misalnya: Srandul, Reog, Kethoprak, Wayang, Langendriyan, Langen Wanara, Langen Asmara Suci (Dewantara, 2011: 347-348). Frobel dan Montessori adalah tokoh-tokoh pendidikan anakanak yang banyak berpengaruh pada pandangan-pandangan pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa kesenian yang dipakai sebagai alat pendidikan dalam Taman Siswa tetap bermaksud mempengaruhi perkembangan jiwa anak-anak ke arah keindahan pada khususnya, namun keindahan di dalam rangkaiannya dengan keluhuran dan kehalusan sehingga layak bagi hidup manusia yang beradab dan berbudaya. Jadi ada perkembangan jiwa anak dari natur ke kultur (Dewantara, 2011: 353). Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dibandingkan dengan filsafat pendidikan esensialisme sangat mirip, karena esensialisme berpendapat bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Kebudayaan yang diwariskan merupakan kebudayaan yang telah teruji oleh segala jaman, kondisi dan sejarah (Noor Syam, 1983: 260). Nilai-nilai kebudayaan bukanlah nilai-nilai yang statis tetapi juga mengalami kemajuan. Ki Hadjar Dewantara mengatakan hendaknya usaha kemajuan ditempuh melalui petunjuk Trikon, yaitu: kontinyu dengan alam masyarakat Indonesia sendiri. Artinya, secara kontinyu kebudayaan harus diestafetkan atau diberikan kepada generasi penerus secara terus-menerus. Kemudian konvergen dengan budaya luar. Artinya, penerima nilai-nilai budaya dari luar dengan selektif dan adaptif dan akhirnya bersatu dengan alam universal, dalam persatuan yang konsentris yaitu bersatu namun tetap mempunyai kepribadian sendiri. Jadi dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan yang maju tetapi tetap berkepribadian Indonesia (Dewantara, 1994: 371). Nilai-nilai budaya yang digunakan Ki Hadjar Dewantara dalam pendidikan adalah nilai budaya yang ada sejak beliau dilahirkan, yaitu pada masa Adipati Paku Alam III tahun 1889, jadi nilai-nilai budaya sekitar abad ke-18 dan 19. Sedang filsafat pendidikan esensialisme didasarkan pada jaman Renaisans yang muncul sekitar abad ke-15 dan 16.
Pemikiran pendidikan Ki. Hajar Dewantara relevan dengan kurikulum 2013 seperti tujuan pembelajaran, yaitu sama-sama mengarahkan tujuan pendidikan dalam empat dimensi, yaitu tujuan jasmani, akal, rohani dan sosial. Peran pendidik menurut Ki. Hajar Dewantara sebagai fasilitator dan motivator. Sementara menurut kurikulum 2013 peran pendidik juga sebagai fasilitator dalam pembelajaran dan sebagai mitra belajar bagi peserta didik. Keduanya sepakat bahwa ada empat kompetensi yang harus dimiliki seorang pendidik, yaitu pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional. Prinsip pembelajaran yang ada di kurikulum 2013 relevan dengan prinsip pembelajaran menurut Ki. Hajar dewantara. Materi pembelajaran keduanya sepakat materi pembelajaran diajarkan sesuai dengan tingkat perkembangan usia peserta didik. Kemudian mata pelajaran yang terdapat pada kurikulum 2013 juga relevan dengan pemikiran pendidikan Ki. Hajar Dewantara, dengan meletakkan mata pelajaran pendidikan Agama dan Budi Pekerti di setiap jenjang satuan pendidikan. Sebagaimana telah dijelaskan bahwasanya pendidikan memiliki kekuatan untuk melakuakan perubahan guna membangun bangsa secara sistematis dan sistemik kearah yang lebih baik dengan cara melihat keadaan yang lebih baik dengan melihat keadaan yang tidak dikehendaki saat ini dan kemudian menentukan tujuan serta langkah yang dibutuhkan untuk mewujudkan peserta didik yang dikehendaki di masa yang akan datang (Dewantara I, 2004).
Sumber :
Ki Hajar Dewantara. 2013. Pemikiran Konsepi, Keteladanan, Sikap Merdeka I (Pendidikan). Universitas Sarjanawijaya Tamansiswa (UST-Press) bekerjasama dengan Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar