Minggu, 30 Mei 2021

Paulo Freire Pendidikan Kaum Tertindas

Kelompok 1

Okta Prastu Dinda Sari           (19144600084)

Sartika  (19144600091)

Vivi Lupitasari               (19144600104)

Hasyim Munawar  (19144600105)

Moh. Ilham Febriyanto  (19144600106)

Riza Apriawan  (20144600204)

Muhammad Farhan Alif N  (20144600225)

Kelas : PGSD A3-19

BUKU PAULO FREIRE

PENDIDIKAN KAUM TERTINDAS 

        Humanisasi secara aksiologis, selama ini selalu dipandang sebagai masalah utama manusia, maka sekarang memiliki watak sebagai suatu keprihatinan yang tidak dapat dihindarkan. Keprihatinan terhadap masalah humanisasi ini akan segera membawa kita pada pengakuan akan adanya masalah dehumanisasi, bukan saja sebagai sebuah kemungkinan ontologis, tetapi juga sebagai sebuahsejarah realitas. Ketika orang menyedari makin meluasnya gejala dehumanisasi itu, dia akan menanyakan diri sendiri apakah humanisasi masih merupakan sebuah kemungkinan yang dapat dipertahankan. Dalam sejarah, dalam konteks yang konkret dan obyektif, baik masalah humanisasi maupun dehumanisasi  keduanya merupakan kemungkinan yang selalu tersedia bagi seseorang sebagai makhluk belum selesai yang menyadari ketidak sempurnaannya.

Dehumanisasi, yang menandai bukan saja mereka yang  telah dirampas kemanusiaannya, akan tetapi mereka yang telah merampasnya. Adalah sebuah penyimpangan fitrah untuk menjadi manusia sejati. Penyimpangan ini terjadi sepanjang sejarah, namun bukan suatu fitrah. Sesungguhnya, mengakui duhumanisasi sebagai suatu fitrah sejarah akan membawa kepada suatu sinisme atau sikap putus asa menyeluruh. 

Oleh karena hal ini merupakan sebuah penyimpangan dari usaha untuk menjadi lebih manusiawi, maka cepat atau lambat keadaan yang kurang manusiawi itu akan mendorong kaum tertindas untuk berjuang untuk menentang mereka yang telah membuat mereka jadi demikian. Agar perjuangan itu bermakna, maka dalam berusaha membuat kembali kemanusian mereka (sebagai salah satu cara untuk mewujudkannya), kaum tertindas tidak boleh berbalik menjadi penindas kaum tertindas, tetapi memulihkan kembali kemanusiaan keduanya. 

Pendidikan kaum tertindas, sebagai pendidikan para humanis dan pembebas, terdiri dari dua tahap. Pada tahap pertama, kaum tertindas membuka tabir dunia penindasan dan melalui praksis melibatkan diri untuk mengadakan perubahan. Pada tahap kedua, dimana realitas penindasan itu sudah berubah, pendidikan ini tidak lagi menjadi milik kaum tertindas tetapi menjadi pendidikan untuk seluruh manusia dalam proses mencapai kebebasan yang langgeng.

Dalam kedua tahap ini dibutuhkan gerakan yang mendasar agar kultur dominasi dapat dilawan secara kultur pula. Pada tahap pertama, maka perlawanan itu terjadi dalam hal kaum tertindas menyadari akan adanya dunia penindasan dan pada tapah kedua, dengan membrantas habis mitos-mitos yang diciptakan dan dikembangkan di masa orde lama, yang bagaikan hantu-hantu yang menghantui bangunan baru yang muncul dari perubahan revolusioner. 

Pendidikan kaum tertindas sejatinya adalah yang dijiwai oleh kedermawanan sejati, kemurahan hati humanis (bukan humanitarian) menampilkan diri sebagai sebuah pendidikan bagi seluruh umat manusia. pendidikan yang dimulai dengan kepentingan egoistis kaum penindas (egoisme dengan baju kedermawanan palsu dari paternalisme) dan menjadikan kaum tertindas sebagai objek dari humanitarianisme mereka, justru mempertahankan dan menjelmakan penindas itu sendiri. Dia merupakan sebuah perangkat dehumanisasi. Pendidikan kaum tertindas tidak dapat dikembangkan dan dilaksanakan oleh kaum penindas. Akan tetapi merupakan suatu kontradiksi jika kaum penindas tidak hanya membela tetapi juga melaksanakan pendidikan yang membebaskan.

           Menurut saya pendidikan kaum tertindas ini, yang dijiwai oleh kedermawanan sejati, kemurahan hati humanis (bukan humanitarian) menampilkan diri sebagai sebuah pendidikan bagi seluruh umat manusia. Pendidikan yang dimulai dengan kepentingan egoistis kaum penindas (egoisme dengan baju kedermawanan palsu dari paternalisme) dan menjadikan kaum tertindas sebagai obyek dari humanitarianisme mereka, justru mempertahankan dan menjelmakan penindasan itu sendiri. Pendidikan kaum tertindas merupakan sebuah perangkat dehumanisasi. Itu pula sebabnya mengapa telah di tegaskan sejak awal pendidikan kaum tertindas tidak dapat dikembangkan dan dilaksanakan oleh kaum penindas. 

Pendidikan kaum tertindas harus dihilangkan dan menciptakan bersama pendidikan yang bukan untuk menindas melainkan membangun oendidikan yang demokratis dalam hal ini dimaksusdkan untuk perjuangan memulihkan kembali kemanusiaan yang telah dirampas. Pendidikan kaum tertindas harus merupakan perjuangan melawan penindasan dalam situasi dimana dunia dan manusia berada dalam interaksi. Oleh karena itu dalam perjuangan ini diperlukan praksis yang merupakan sebuah proses interaksi antara refleksi dan aksi salah satu faktor penting dalam gerakan pembebasan tersebut adalah perkembangan kesadaran.

             Kami setuju dengan pendidikan bagi kaum tertindas yang digags oleh Paulo Freire yang ditulis dalam bukunya yaitu Pendidikan kaum tertindas. Dari gagasan yang disampaikan, dapat dikatan pendidikan bagi kaum tertindas perlu dilakukan. Sebenarnya tidak hanya bagi orang teritndas, tetapi bagi setiap manusia karena dengan pendidikan akan memeperoleh ilmu, pengetahuan dan keterampilan yang dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Pendidikan termasuk HAM sehingga semua manusia bebas menempuh Pendidikan.

Pendidikan bagi kaum tertindas yang digagas oleh Paulo Friere menekankan tidak adanya dehumanisasi dan tetap harus memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia disini yaitu bagi para penindas agar dapat menjadi manusia yang sejati. Pendidikan bagi kaum tertindas bertujuan untuk membebaskan diri dari para penindas. Bukan sebagai ajang balas dendam bagi penindas Ketika mereka merasakan kebebasan. Sehingga humanisasi ini perlu dilakukan dan dipertahankan karena akan sama saja jika mereka yang dulunya tertindas akan menjadi penindas sebagai ajang balas dendam.

           Bagi Freire, penindasan, apa pun nama dan alasannya, adalah tidak manusiawi, sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan . Dehumanisasi bersifat ganda, dalam pengertian, terjadi atas diri mayoritas kaum tertindas dan juga atas diri minoritas kaum penindas. Keduanya menyalahi kodrat manusia sejati. Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan, karena mereka dibuat tak berdaya dan dibenamkan dalam «kebudayaan bisu» 1 Adapun minoritas kaum penindas menjadi tidak manusiawi karena telah mendustai hakekat keberadaan dan hati nurani sendiri dengan memaksakan penindasan bagi sesamanya. Pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat objektif atau subyektif, tapi harus kedua-duanya. Kebutuhan obyektif untuk merubah keadaan yang tidak manusiawi selalu memerlukan kemampuan subyektif untuk mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusiawi, yang terjadi senyatanya, yang obyektif.  Sistem pendidikan pembaharu ini, kata Freire, adalah pendidikan untuk pembebasan—bukan untuk penguasaan (dominasi). Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya (social and cultural domestication).  Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia dan, karena itu, secara metodologis bertumpu di atas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total—yakni prinsip bertindak untuk menabah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas tersebut. 

Sabtu, 29 Mei 2021

Ki Hajar Dewantara Pendidikan Nasional

 Kelompok 1:

Okta Prastu Dinda Sari           (19144600084)

Sartika (19144600091)

Vivi Lupitasari             (19144600104)

Hasyim Munawar (19144600105)

Moh. Ilham Febriyanto (19144600106)

Riza Apriawan (20144600204)

Muhammad Farhan Alif N (20144600225)

Kelas : PGSD A3-19

Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan


KI HAJAR DEWANTARA ( PENDIDIKAN NASIONAL)


Tokoh yang memiliki sumbangsih besar untuk kemajuan pendidikan di Indonesia dan mendapat gelar sebagai Bapak Pendidikan Nasional yaitu Ki Hajar Dewantara, Ia adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, dan pelopor pendidikan bagi bangsa Indonesia. Sepanjang perjalanan hidupnya sarat dengan perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsa. Tak heran jika peran dan jasanya begitu besar dalam mengawal impian bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang merdeka dari segala macam bentuk penjajahan. Untuk mengawal impian tersebut, ia menggunakan media pendidikan, baginya pendidikan bukanlah tujuan, melainkan media untuk mencapai tujuan perjuangan yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batin. Merdeka lahiriah berarti tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik dan lain-lain, sedangkan merdeka batiniah berarti mampu mengendalikan diri dan mandiri dangan tanpa melanggar kemerdekaan orang atau golongan lain. Hakikat pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah memasukkan kebudayaan ke dalam diri anak dan memasukkan anak ke dalam kebudayaan supaya anak menjadi makhluk yang insani.

Globalisasi yang dipengaruhi oleh kepentingan pasar menyebabkan pendidikan tidak sepenuhnya dipandang sebagai upaya mencerdaskan bangsa dan proses pemerdekaan manusia tetapi mulai bergeser menuju pendidikan sebagai komoditas (Saksono, 2010: 76). Pengaruh globalisasi yang sedang dan akan berlangsung akan berpengaruh terus-menerus sampai waktu yang tidak ditentukan dan ini semakin sulit untuk diatasi. Melihat kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada masa-masa yang akan datang, rasanya sangat berat sehingga bangsa Indonesia harus secara serius menangani masalah ini. Globalisasi telah mengakibatkan pergeseran tujuan pendidikan nasional dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi yang tidak lagi hanya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi lebih berfokus untuk menghasilkan lulusan yang menguasai scientia. Dengan penguasaan scientia dinilai mengarahkan peserta didik kepada hasil yang bersifat pragmatis dan materialis, karena kurang membekali peserta didiknya dengan semangat kebangsaan, semangat keadilan sosial, serta sifat-sifat kemanusiaan dan moral luhur sebagai warga negara (Saksono, 2010: 76). Bangsa Indonesia saat ini dihadapkan pada krisis karakter yang cukup memprihatinkan. Demoralisasi mulai merambah di dunia pendidikan seperti ketidakjujuran, ketidakmampuan mengendalikan diri, kurangnya tanggung jawab sosial, hilangnya sikap ramah-tamah dan sopan santun. Untuk menangkal model pendidikan semacam itu maka konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ditawarkan sebagai solusi terhadap distorsi-distorsi pelaksanaan pendidikan di Indonesia dewasa ini. Ki Hadjar Dewantara mengatakan hendaknya usaha kemajuan ditempuh melalui petunjuk trikon, yaitu kontinyu dengan alam masyarakat Indonesia sendiri, konvergen dengan alam luar, dan akhirnya bersatu dengan alam universal, dalam persatuan yang konsentris yaitu bersatu namun tetap mempunyai kepribadian sendiri (Dewantara, 1994: 371).

Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan merupakan salah satu usaha pokok untuk memberikan nilai-nilai kebatinan yang ada dalam hidup rakyat yang berkebudayaan kepada tiap-tiap turunan baru (penyerahan kultur), tidak hanya berupa pemeliharaan akan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan, menuju ke arah keseluruhan hidup kemanusiaan (Dewantara, 2011: 344). Kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan bangsa sendiri mulai dari Taman Indria, anak-anak diajarkan membuat pekerjaan tangan, misalnya: topi (makuto), wayang, bungkus ketupat, atau barang-barang hiasan dengan bahan dari rumput atau lidi, bunga dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar anak jangan sampai hidup terpisah dengan masyarakatnya (Dewantara, 2011: 276). Metode permainan yang masih terdapat di desa-desa dimaksudkan untuk melatih ketangkasan, melihat, mendengar dan bertindak sebagai latihan panca indera. Banyak permainan anak-anak yang berupa tarian, sandiwara-sandiwara yang amat sederhana, tetapi cukup Henricus Suparlan 65 mengandung bahan-bahan untuk pendidikan, misalnya seni suara, tari dan drama. Drama dari cerita-cerita rakyat seperti Timun Emas, Bawang Putih, Jaka Kendil maupun cerita-cerita Wayang Purwa. Untuk anak-anak yang sudah besar, misalnya Taman Dewasa atau Sekolah Menengah Pertama dan Taman Madya atau Sekolah Menengah Atas, akan diberikan pelajaran olah gending. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperkuat dan memperdalam rasa kebangsaan. Tari Serimpi dan tari Bedoyo diberikan kepada anak didik karena merupakan kesenian yang amat indah yang mengandung rasa kebatinan, rasa kesucian dan rasa keindahan. Gending-gending Keraton jaman dulu diwajibkan untuk dipelajari, juga Tari Serimpi. Di samping Tari Serimpi juga diajarkan sandiwara atau drama yang dalam istilah Jawa disebut tonil, misalnya: Srandul, Reog, Kethoprak, Wayang, Langendriyan, Langen Wanara, Langen Asmara Suci (Dewantara, 2011: 347-348). Frobel dan Montessori adalah tokoh-tokoh pendidikan anakanak yang banyak berpengaruh pada pandangan-pandangan pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa kesenian yang dipakai sebagai alat pendidikan dalam Taman Siswa tetap bermaksud mempengaruhi perkembangan jiwa anak-anak ke arah keindahan pada khususnya, namun keindahan di dalam rangkaiannya dengan keluhuran dan kehalusan sehingga layak bagi hidup manusia yang beradab dan berbudaya. Jadi ada perkembangan jiwa anak dari natur ke kultur (Dewantara, 2011: 353). Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dibandingkan dengan filsafat pendidikan esensialisme sangat mirip, karena esensialisme berpendapat bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Kebudayaan yang diwariskan merupakan kebudayaan yang telah teruji oleh segala jaman, kondisi dan sejarah (Noor Syam, 1983: 260). Nilai-nilai kebudayaan bukanlah nilai-nilai yang statis tetapi juga mengalami kemajuan. Ki Hadjar Dewantara mengatakan hendaknya usaha kemajuan ditempuh melalui petunjuk Trikon, yaitu: kontinyu dengan alam masyarakat Indonesia sendiri. Artinya, secara kontinyu kebudayaan harus diestafetkan atau diberikan kepada generasi penerus secara terus-menerus. Kemudian konvergen dengan budaya luar. Artinya, penerima nilai-nilai budaya dari luar dengan selektif dan adaptif dan akhirnya bersatu dengan alam universal, dalam persatuan yang konsentris yaitu bersatu namun tetap mempunyai kepribadian sendiri. Jadi dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan yang maju tetapi tetap berkepribadian Indonesia (Dewantara, 1994: 371). Nilai-nilai budaya yang digunakan Ki Hadjar Dewantara dalam pendidikan adalah nilai budaya yang ada sejak beliau dilahirkan, yaitu pada masa Adipati Paku Alam III tahun 1889, jadi nilai-nilai budaya sekitar abad ke-18 dan 19. Sedang filsafat pendidikan esensialisme didasarkan pada jaman Renaisans yang muncul sekitar abad ke-15 dan 16. 

Pemikiran pendidikan Ki. Hajar Dewantara relevan dengan kurikulum 2013 seperti tujuan pembelajaran, yaitu sama-sama mengarahkan tujuan pendidikan dalam empat dimensi, yaitu tujuan jasmani, akal, rohani dan sosial. Peran pendidik menurut Ki. Hajar Dewantara sebagai fasilitator dan motivator. Sementara menurut kurikulum 2013 peran pendidik juga sebagai fasilitator dalam pembelajaran dan sebagai mitra belajar bagi peserta didik. Keduanya sepakat bahwa ada empat kompetensi yang harus dimiliki seorang pendidik, yaitu pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional. Prinsip pembelajaran yang ada di kurikulum 2013 relevan dengan prinsip pembelajaran menurut Ki. Hajar dewantara. Materi pembelajaran keduanya sepakat materi pembelajaran diajarkan sesuai dengan tingkat perkembangan usia peserta didik. Kemudian mata pelajaran yang terdapat pada kurikulum 2013 juga relevan dengan pemikiran pendidikan Ki. Hajar Dewantara, dengan meletakkan mata pelajaran pendidikan Agama dan Budi Pekerti di setiap jenjang satuan pendidikan. Sebagaimana telah dijelaskan bahwasanya pendidikan memiliki kekuatan untuk melakuakan perubahan guna membangun bangsa secara sistematis dan sistemik kearah yang lebih baik dengan cara melihat keadaan yang lebih baik dengan melihat keadaan yang tidak dikehendaki saat ini dan kemudian menentukan tujuan serta langkah yang dibutuhkan untuk mewujudkan peserta didik yang dikehendaki di masa yang akan datang (Dewantara I, 2004).


Sumber :

 Ki Hajar Dewantara. 2013. Pemikiran Konsepi, Keteladanan, Sikap  Merdeka I (Pendidikan). Universitas Sarjanawijaya Tamansiswa (UST-Press) bekerjasama dengan Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa


Kamis, 06 Mei 2021

GAGASAN PENDIDIKAN MENURUT IVAN ILLICH

 

  • Nama    : Sartika
  • NPM     : 19144600091
  • Kelas    : A3-19
  • Jurnal  : file:///C:/Users/HEWLETT%20PACKARD/Downloads/500-949-1-PB%20(2).pdf

Gagasan Pendidikan Ivan Illich

            Ivan Illich adalah sosok pemikir humanis dan religius. Beliau mengkritik proses pendidikan yang mapan di jamannya. Menurutnya, Kewajiban bersekolah secara tidak terelakkan membagi suatu masyarakat dalam kutub-kutub saling bertentangan. Beliau juga mengkritik komponen pendidikan yang ada di sekolah, seperti dalam hal tujuan, pendidik, peserta didik, kurikulum, metode dan lingkungan. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena dengan pendidikan manusia akan mengalami sebuah perubahan yaitu perubahan dari tidak tahu menjadi tahu. Dan lebih dari itu, dengan pendidikan manusia akan sangat tinggi derajatnya. Dengan demikian, Pendidikan merupakan upaya mulia dalam rangka menghilangkan kebodohan dan memanusiakan manusia. Untuk mencapai hal yang maksimal dan yang diinginkan dalam out put di dunia pendidikan, perlu rasanya untuk sejenak melihat dan merumuskan tujuan-tujuan dari pendidikan itu sendiri. Menurut Illich sistem pendidikan yang baik dan membebaskan harus mempunyai 3 (tiga) tujuan, yaitu: Pertama pendidikan harus memberi kesempatan kepada semua orang untuk bebas dan mudah memperoleh sumber belajar pada setiap saat. Kedua, pendidikan harus mengizinkan semua orang yang ingin memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain dengan mudah, demikian pula bagi orang yang ingin mendapatkannya. Ketiga, menjamin tersedianya masukan umum yang berkenaan dengan pendidikan. Dari tiga tujuan di atas dapat disimpulkan bahwa, tujuan pendidikan bagi Illich adalah terjaminnya kebebasan seseorang untuk memberikan Ilmu dan mendapatkan Ilmu. Karena memperoleh pendidikan dan Ilmu adalah hak dari setiap warga negara dimanapun.

            Dari apa yang dikemukakan Illich mengenai hak dan kewajiban dalam menuntut ilmu sebagaimana yang diharap Illich di atas, agaknya sejalan dengan Islam, karena Islam sendiri telah mewajibkan hambanya untuk menuntut ilmu Tholabul Ilmi Faridhotun ‘Ala Kulli Muslimin Wa Muslimatin (menuntut ilmu adalah kewajiban bagi seorang muslim laki-laki maupun perempuan). Akan tetapi, Illich tidak mendefinisikan bahwa tujuan pendidikan sebenarnya adalah untuk membentuk “Good and Righteous Man” yaitu manusia yang bermoral, sebagaimana yang terdapat dalam Islam, bahwa tujuan pendidikan Islam pada hakekatnya adalah membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur, yang selalu menjalankan Syari’ah dan hukum-hukum Islam. Akhlak dan moral merupakan suatu hal yang tidak dapat kita pisahkan dalam pendidikan. Karenanya barang siapa yang bertambah ilmunya tetapi moralnya tidak bertambah, maka dia semakin jauh dari Tuhannya Man Izdada Ilman Walam Yazdad Hudad, Lam Yazdad Minallahi Illa Bu’dan.

            Erich From mengungkapkan bahwa pemikiran Ivan Illich yang terpenting adalah: membebasakan anggapan masyarakat dan membuka pintu untuk bisa membawa masyarakat keluar dari anggapannya yang sudah mapan. Ide-ide pembebasan Ivan Illich dalam dunia pendidikan tertuju pada sasaran-sasaran sebagai berikut: Pertama untuk membebaskan akses pada barang-barang dengan menghapus kontrol yang selama ini di pegang oleh orang atau lembaga atas nilainilai pendidikan mereka. Kedua untuk membebaskan usaha membagikan keterampilan dengan menjamin kebebasan mengajar atau mempraktekkan ketrampilan itu menurut permintaan. Dari poin-poin di atas dapat disimpulkan bahwa Illich mencoba membebaskan masyarakat dari anggapannya tentang sekolah sebagai sarana satu-satunya untuk memperoleh pendidikan. Ilmu pengetahuan bagi Illich, tidak hanya dapat diperoleh dari sekolah, akan tetapi dapat diperoleh dari luar sekolah seperti lingkungan sekitar dan alam. Pada akhirnya, seorang siswa hanya bisa menuruti apa yang telah dijajakan oleh sekolah berupa ilmu pengetahuan, tanpa harus tahu dari mana dan bagimana ilmu pengetahuan tersebut. Meskipun pemikiran Ivan Illich lahir sekitar tahun 1970, yang ditulis dalam bukunya Deschooling Society, tetapi pemikirannya tentang pendidikan tampaknya tetap aktual dan relevan dengan kondisi pendidikan dalam konteks kekinian, termasuk di Indonesia. Bahkan pemikiran atau gagasan yang dikemukakan Illich menjadi inspirasi bagi perkembangan dan kemajuan pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indosesia saat ini, hampir sama dengan gambaran yang kondisi lahirnya gagasan Illich saat itu. Karena pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan yang di inginkan. Untuk memahami ide gagasan Illich, kita harus berpikir sesuai dengan konteks jaman (Arif dkk, 2010: 69). Disadari atau tidak, bahwa kondisi yang melatarbelakangi gagasan Illich tidak mungkin semuanya cocok dengan konteks kekinian di Indonesia. Artinya kita harus memahami gagasan Illich harus fair, tidak semua pemikiran Illich relevan konteks kekinian. Jika kita cermati lebih dalam, ide Illich ada baiknya apa yang dikatakannya, bahawa sekolah saat ini membelenggu kreativitas peserta didik. Kalau kita meminjam pernyataan seorang pakar pendidikan Kurt Singer (2007: 57) menyatakan sekolah tidak lagi menjadi 15 tempat yang nyaman bagi anak-anak. Guru menjadi agen pengawasan, meredamkan bagi martabat siswa. Sekolah menjadi lembaga mematikan bakat dan gaerah anak untuk belajar. Hal ini sangat relevan dengan kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, karena sebagaian besar mindset masyarakat memaknai bahwa belajar hanya dapat dilakukan di sekolah saja.

            Gagasan Ivan Illich untuk membebaskan masyarakat dari belenggu sekolah paling tidak bisa membuat masyarakat sadar, bahwa ilmu tidak hanya dapat diperoleh dari sekolah saja, dan sekolah bukanlah sarana satu-satunya dalam mencari ilmu pengetahuan. Dan yang harus kita lakukan adalah dengan tetap mengkaji kembali bagaimana gagasan ini untuk kedepannya memberi manfaat, dan tetap mempertahankan sisi positif dari pendapat ini.

           

Senin, 03 Mei 2021

PLURALITAS DAN KONSEP PENGAKUAN INTERSUBJEKTIF DALAM PEMIKIRAN AXEL HONNETH

 

Nama             : Sartika

NPM             : 19144600091

Kelas             : A3-19

Link Jurnal    : https://driyarkara.ac.id/jurnal-diskursus/index.php/diskursus/article/view/70


PLURALITAS DAN KONSEP PENGAKUAN INTERSUBJEKTIF

DALAM PEMIKIRAN AXEL HONNETH

Axel Honneth adalah penerus tradhisi teori kritis generasi ketiga dari Madzhab Frankfurt. Plural adalah sebuah kata yang menunjukkan bahwa jumlah sesuatu baik hewan atau manusia lebih dari satu, atau sering disebut jamak. Pluralitas merupakan ciri khas yang mewarnai kehidupan bersama setiap masyarakat modern. Hal ini terungkap dalam kebhinekaan pandangan, nilai, ideologi dan tradhisi kultural. Kebhinekaan ini tidak hanya  mewarnai ruang publik, tapi juga menyusup hingga ke ranah privat. Kelompok-kelompok ini hidup berdampingan dan setara. Tak ada yang dipandang lebih penting dari yang lain. Dalam paradigma intersubjektif, pengakuan tidak hanya dilihat pada tataran relasi interkultural, tapi dipahami sebagai sebuah antropologi. Hal ini ditunjukkan Honneth dalam uraiannya tentang berbagai tingkatan interaksi antar manusia yakni tataran cinta, hukum, dan solidaritas.

Pertanyaan fundamental yang harus dijawab oleh setiap masyarakat plural ialah seberapa plural kondisi sosial yang dapat ditoleransi sebuah masyarakat agar masyarakat tersebut tetap bertahan hidup. Apakah sebuah masyarakat plural tetap membutuhkan basis normatif kolektif? Pertanyaan ini muncul seiring dengan krisis yang melanda demokrasi modern yang dipandang sudah terlalu liberal. Untuk menjawabi krisis tersebut pluralitas nilai, ideologi dan tradisi dalam demokrasi harus dijangkarkan kembali pada nilai budaya kolektif. Uraian tentang konsep pengakuan Honneth akan didahului dengan sebuah gambaran umum tentang konsep pengakuan dan multikulturalis- me. Gambaran umum ini penting guna menghantar pembaca pada uraian lebih rinci tentang konsep pengakuan intersubjektif Axel Honneth. Dibandingkan dengan model-model pengakuan lainnya seperti konsep pengakuan interkultural, pandangan Axel Honneth lebih tajam karena menggambarkan pengakuan sebagai basis antropologis pembentukan subjek. Tak ada subjek tanpa proses pengakuan, demikian pandangan Honneth. Formasi subjek lewat proses pengakuan, demikian Honneth, terjadi pada tiga tingkatan yakni pada ranah cinta, hukum dan solida- ritas. Cinta adalah ungkapan relasi intim antarmanusia dan lewat cinta individu dibantu untuk mengembangkan rasa percaya diri. Hukum membantu individu untuk mengembangkan sikap respek terhadap dirinya sendiri, sedangkan solidaritas membentuk sikap penghargaan terhadap diri sebagai bagian dari sebuah komunitas nilai kolektif. Pada bagian terakhir akan diajukan sejumlah catatan kritis atas konsep penga- kuan Honneth yang dirumuskan di bawah judul kognitivisme, autentisitas dan teleologi.

          Menurut saya dengan menggunakan teori dari Axel honest akan terbukanya kemungkinan masyarakat semasa menemukan jalan dialog bagi kebertemuan yang secara legal-normatif menjamin hidup bersama secara damai. Konsep pengakuan intersubjektif Axel Honneth, pada bagian terdahulu kita telah melihat bahwa teori pengakuan pada umumnya lahir sebagai catatan kritis atas kegagalan praktik politik liberal. Liberalisme dianggap mengenal individu hanya sebagai subjek hukum dan karena itu hanya dapat memperhatikan tuntutan validitas hukum. Dalam kaca mata liberalisme, kesetaraan subjek-subjek hukum hanya dapat dijamin jika aspek-aspek tradisi, kultural dan konsep hidup baik dijauhkan dari politik. Namun apa yang menjadi objek pengakuan justru aspek-aspek ini, hal-hal yang menempatkan individu dalam konteks nilai bersama yang dimaknai secara kolektif. Charles Taylor ber- pandangan bahwa model liberalisme yang sensibel terhadap diferensiasi harus mengkompensasi pemiskinan individualistis (individualistische Verarmung) tersebut dan memperluas horison liberalisme dengan mem- berikan perhatian khusus pada hak-hak kultural (kolektif). Teori Ricoeur juga menunjukkan bahwa Honneth membantu untuk menemukan dalam pemikiran Hegel ada tiga unsure mendasar yang terkandung dalam pengakuan. Pertama, pengakuan berhubungan erat dengan refleksi diri dan keterarahan kepada orang lain. Kedua, proses dinamisme pengakuan itu selalu bergerak dari kutub negative menuju kutub positif, dari ketidak pedulian menuju perhatian, dari ketidak adilan menuju respek. Ketiga, teori pengakuannya bergerak meningkat secara sistematis berdasarkan hierarki, yang dihubungkan dengan institusi dalam masyarakat, dari yang terkecil dalam keluarga menuju tingkat tertinggi pada Negara. Tiga wilayah pengakuan dari Honnest yaitu wilayah subjektif mengenai cinta, menurut Honnest cinta merupakan medium utama bagi adanya pengakuan yang dialami subjek dalam masyarakat sekaligus menjadi dasar bagi terbangunnya sikap percaya diri subjek sosial. Kemudian wilayah objektif mengenai hukum dan wilayah sosial mengenai solidaritas, dalam konsepnya Honnest menyebutnya bukan solidaritas namun sittlichkeit yang mengandaikan bahwa struktur sosial sebagai tatanan normative yang merealisasikan kebebasan tiap individu sudah terkandung didalamnya.

         Pengakuan sebagai sebuah gramatika sosial adalah jalan dengan rambu-rambunya, yakni cinta, hak, dan solidaritas. Rambu-rambu ini menyediakan perlindungan intersubjektif, sebagai kondisi yang aman bagi kebebasan eksternal dan internal dalam proses artikulasi dan realisasi tujuan hidup individu, tanpa tindakan koersif dari pihak luar. Untuk hal yang harus dilakukan lebih lanjut lebih memperhatikan kembali sikap, perilaku, dan tindak tanduk ketika sedang berada dikehidupan masyarakat sosial.